Dokumentasi: Stevanus Wawiyai
Penulis: Stevanus Wawiyai (FOLUR Field Coordinator - Sorong District)
Papua sesungguhnya bukan semata kisah keterpencilan dan keterisolasian. Papua juga bukan entitas etnis dan sosiokultural yang tunggal atau homogen. Pada kenyataannya, Papua terdiri atas multietnis, multibahasa, multibudaya dan multiagama. Bahkan, di lapangan narasi terkait masyarakat adat justru sangatlah menunjukkan wajah kebhinekaan.
Mpu Prapanca dalam Kakawin Nagarakretagama telah mencatatkan dua nama daerah di Papua kala itu dalam teks ”kakawin” yang mencatatkan nama 'Wanin', yang ditengarai adalah nama lain dari Onin (dekat Fakfak).
Hipotesis lain pernah ditulis Harsja W Bachtiar. Melalui artikelnya Sejarah Irian Jaya dalam Koentjaraningrat (ed.), Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk (1993), Bachtiar bahkan menduga sejak abad ke-8 telah ada interaksi baik secara langsung maupun tidak langsung antara etnis Papua dengan etnis lainnya di Indonesia. Ini setidaknya dibuktikan dari berita Cina yang mencatat adanya hadiah bulu-bulu burung cendrawasih dan nuri nan indah yang berasal dari Papua. Hadiah tersebut diberikan Sri Indrawarman, Raja Sriwijaya saat itu, sebagai pemberian cinderamata kepada Kaisar Tiongkok. Di masa Kerajaan Sriwijaya tersebut, seturut kesimpulan Bachtiar mengutip berita Cina, menyebut Pulau Papua dengan nama “Janggi”.
Maka tak aneh apabila membicarakan kisah sejarah Papua Barat, khususnya di Salawati Wilayah Kepala Burung adalah juga berarti membaca kembali kisah perjalanan “cawan peleburan” (melting pot) kebudayaan antara pelbagai etnis Papua dan non-Papua di hamparan–meminjam istilah Alfred Russel Wallace–The Malay Archipelago; sebuah kisah percakapan antara para penutur Melanesia dan Austronesia di kepulauan Asia-Pasifik penyemai embrio keindonesiaan modern yang kesejarahannya telah merentang ribuan tahun silam.
Sejak zaman dahulu, Salawati dikenal sebagai pusat percaturan perdagangan rempah-rempah di abad 18 termasuk perdagangan pangan lokal salah satunya adalah sagu yang menguasi bentang kepala Burung.
Hutan sagu layaknya ibu bagi masyarakat adat Papua, hutan selama ini telah memberikan banyak manfaat, yang meliputi sandang, pangan dan papan, laiknya kasih sayang ibu pada anak-anaknya. “Ibu bagi masyarakat adat bernama sagu yang selama ini setia memberikan makan, namun perlahan dilupakan”.
Hutan dan sagu adalah totalitas semesta nilai-nilai budaya, yang di dalamnya secara intrinsik mengandung pandangan filosofi kehidupan maupun pandangan-dunia kosmologisnya. Berada di tengah hutan-hutan Papua – maka dapat dengan mudah kita sadari, bahwa pohon sagu dan aneka rupa pohon atau tanaman lain bagi Orang Papua bukanlah semata bermakna sebagai piranti sandang, pangan dan papan.
Bagi Orang Papua, hutan dan segala isinya itu sekaligus merupakan pernak-pernik unsur pembentuk sistem simbolik bagi ritus-ritus adat dan jejaring sosial serta prinsip identitas budaya mereka.
Makanan lokal seperti sagu dan umbi-umbian jelas tak sekadar bicara tentang bagaimana upaya masyarakat adat memenuhi kebutuhan hidup dan nutrisi, tetapi juga tentang proses kesinambungan tradisi dan budaya, kearifan lokal dan identitas etnis Papua.
Mata Sagu Mata Mama adalah pemaknaan dan penggalian kearifan lokal dan pengetahuan lokal masyarakat adat. Sagu adalah ibu, sagu yang memberi makan setiap kehidupan, terutama sagu yang memiliki peran penting sebagai penyedia kehidupan di masa lalu, sekarang, maupun di masa depan.
Sagu adalah perlambangan pangan; tanaman para dewa dan sumber kejayaan Indonesia di masa lampau yang posisinya kini kian tergantikan.
~Selamat Hari Pangan Sedunia~
16 Oktober 2025
Referensi
Koentjaraningrat. (1994). Irian Jaya: membangun masyarakat majemuk. Jakarta: Penerbit Djambatan.